Tanggal 24 Desember 2025, pemerintah secara resmi mengumumkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026. Seperti biasa, pengumuman ini dibalut dengan pernyataan tegas dan ancaman serius. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, bahkan tidak ragu menyebut bahwa UMP ini wajib jadi acuan semua pengusaha mulai 1 Januari 2026. Kalau tidak patuh? Siap-siap masuk penjara minimal satu tahun, maksimal empat tahun. Dendanya pun tidak main-main, Rp 100 juta sampai Rp 400 juta. Bunyi undang-undangnya tegas, lengkap, dan keras. Tapi, apakah kenyataan di lapangan juga seketat ancamannya?
Mari kita lihat lebih dalam. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 88E ayat (2), tertulis jelas, bahwa "Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari Upah minimum." Kalimatnya sederhana, tapi penerapannya sering kali ruwet. Di satu sisi, aturan ini menunjukkan bahwa negara hadir melindungi hak-hak pekerja. Di sisi lain, masih banyak suara buruh yang menggema, bahwa UMP tetap belum cukup buat hidup layak. Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi, dan Surabaya. Iya, gaji naik, tapi harga-harga juga ikut naik. Kadang malah lebih cepat daripada pengumuman UMP itu sendiri.
Lucunya, aturan UMP ini ternyata hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Kalau masa kerja sudah lebih dari setahun, maka gaji harus mengikuti struktur dan skala upah yang disusun perusahaan. Ini yang sering jadi celah. Banyak perusahaan yang ogah-ogahan menyusun skala upah. Kalaupun ada, sering tidak transparan, atau malah hanya formalitas. Akhirnya, pekerja yang sudah lama kerja, justru gajinya mentok, tidak naik-naik. Bahkan, ada yang lebih rendah dari pegawai baru karena tidak dapat insentif atau tunjangan tambahan.
Masalah tidak berhenti di situ. Di lapangan, pelanggaran soal upah ini masih sering terjadi, dan sanksi pidana yang terdengar mengerikan itu kadang hanya jadi pemanis peraturan. Pemerintah memang menyatakan akan menindak tegas, tapi realisasinya seringkali jauh panggang dari api. Banyak pekerja takut melapor karena khawatir kehilangan pekerjaan. Kalaupun ada yang berani, proses pelaporannya panjang dan melelahkan. Harus ada musyawarah dulu, dan kalau tidak ada kesepakatan, baru boleh lapor ke Dinas Tenaga Kerja. Belum tentu langsung ditangani, belum tentu pula ada hasil.
Sementara itu, pengusaha juga punya banyak alasan. Mulai dari beban operasional yang makin berat, persaingan pasar, hingga dalih pandemi yang masih menyisakan luka. Ada yang benar-benar tidak mampu membayar UMP karena usaha kecil, tapi ada juga yang sebenarnya mampu, tapi sengaja menekan biaya buruh demi margin lebih besar. Tentu kita tidak bisa menyamaratakan semua, tapi realitanya, UMP sering kali jadi harga patokan yang justru tidak dihargai.
Lebih ironis lagi, ketika kita bicara soal UMP yang beda-beda antar daerah. Di beberapa kasus, UMP kabupaten/kota seperti Karawang dan Bekasi justru lebih tinggi dari UMP DKI Jakarta. Padahal, Jakarta selalu diklaim sebagai kota dengan biaya hidup tertinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penetapan UMP ini benar-benar berdasarkan kebutuhan hidup layak, atau sekadar angka kompromi antara pemerintah dan pengusaha?
Kalau kita tanya langsung ke para pekerja, mayoritas akan menjawab bahwa UMP itu belum cukup. Biaya sewa rumah, makan, transportasi, sekolah anak, hingga kesehatan, semua naik. Apalagi buat pekerja dengan tanggungan keluarga. Dengan UMP yang hanya naik tipis, mereka dipaksa berhemat di sektor-sektor penting, kadang sampai mengorbankan kualitas hidup itu sendiri. Ada yang terpaksa tinggal di kontrakan sempit tanpa ventilasi layak. Ada yang harus mencicil utang bulanan untuk menutup biaya sekolah anak. Ujung-ujungnya, kesehatan mental pun terganggu.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada pengusaha yang benar-benar kesulitan. Terutama pelaku UMKM yang jumlahnya mayoritas di Indonesia. Kenaikan UMP bisa berdampak besar bagi mereka. Kalau tidak sanggup bayar, bisa-bisa terpaksa mem-PHK pegawai. Dilema ini terus terjadi, naikkan gaji tapi rawan kehilangan pekerjaan, atau tahan gaji tapi melanggar hukum.
Solusi ideal tentu bukan sekadar ancaman pidana, tapi perbaikan menyeluruh terhadap sistem pengupahan. Pemerintah perlu memastikan struktur dan skala upah benar-benar diterapkan di perusahaan. Tidak hanya di kertas, tapi juga dalam praktik. Pengawasan harus diperkuat. Jangan menunggu laporan masuk baru bergerak. Harus ada inspeksi rutin, terutama ke sektor-sektor rawan pelanggaran. Selain itu, pendekatan dialogis juga penting. Negara perlu menjembatani komunikasi antara buruh dan pengusaha agar tidak melulu berujung demo atau tuntutan sepihak. Pemerintah daerah pun harus berperan aktif, bukan hanya sebagai penonton. Jangan sampai Dinas Tenaga Kerja hanya sibuk bikin seminar dan bimtek, tapi minim aksi nyata di lapangan.
Pendidikan pekerja juga perlu ditingkatkan. Banyak yang masih belum tahu bahwa mereka berhak menerima gaji sesuai UMP. Bahkan tidak sedikit yang tidak tahu ke mana harus mengadu jika gajinya di bawah standar. Edukasi ini penting agar pekerja tidak terus-menerus terjebak dalam kondisi kerja yang tidak adil. Sementara itu, bagi perusahaan yang memang tidak mampu membayar UMP, seharusnya ada mekanisme khusus. Mungkin berupa pengajuan keberatan dengan audit yang jelas. Tapi tentu harus disertai transparansi laporan keuangan. Jangan sampai jadi celah baru untuk mengakali upah pekerja.
Pada akhirnya, UMP bukan sekadar angka tahunan yang diumumkan dengan seremonial. Ia adalah simbol dari martabat pekerja. Ketika upah minimum masih jadi perdebatan, itu artinya kehidupan layak masih jauh dari jangkauan. Ancaman hukuman pidana memang terdengar garang, tapi tidak cukup jika hanya menjadi jargon. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan nyata. Bukan hanya pada pekerja, tapi juga pada keadilan. Sebab, gaji bukan sekadar bayaran, tapi cermin dari nilai manusia dalam sistem ekonomi. Dan selama sistem itu masih timpang, jangan heran kalau angka UMP yang seharusnya memberi harapan, justru berubah jadi ironi.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik. |