Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik


Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik
Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik

Dalam sejarah panjang kehidupan Presiden Soekarno, selalu ada sosok perempuan yang hadir di sisinya namun tak semuanya diterima dengan tangan terbuka oleh publik. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah Hartini Soekarno, perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, yang tercatat sebagai istri keempat Bung Karno. Meski menjadi pendamping hidup sang proklamator hingga akhir hayatnya, kisah cinta Hartini dibalut kontroversi, kecaman, dan pandangan miring masyarakat.

Kisah mereka bermula pada tahun 1952, di rumah dinas Wali Kota Salatiga. Saat itu, Bung Karno tengah dalam perjalanan dinas dan bertemu dengan Hartini seorang janda muda dengan lima anak yang lembut dan berwibawa. Dalam sekejap, cinta bersemi di antara mereka. Soekarno yang dikenal memiliki pesona dan kelembutan hati, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik
Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik

Setahun kemudian, pada 1953, Soekarno mengutarakan niat kepada Fatmawati, istri sahnya, untuk berpoligami dan menikahi Hartini. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Fatmawati. Meski demikian, Bung Karno tetap melangsungkan pernikahan dengan Hartini pada 7 Juli 1953 di Istana Cipanas. Hartini, dengan rendah hati, meminta agar Fatmawati tetap menjadi Ibu Negara, sementara dirinya hanya ingin menjadi istri kedua yang mendampingi Soekarno dengan setia.

Namun kenyataan berkata lain. Keputusan Bung Karno menimbulkan gelombang besar di masyarakat. Banyak yang memandang Hartini sebagai “perusak rumah tangga presiden”, bahkan statusnya sebagai istri kedua membuatnya tidak pernah diakui secara penuh. Fatmawati yang terluka akhirnya meninggalkan istana dan memilih berpisah. Sejak saat itu, nama Hartini selalu dikaitkan dengan bayang-bayang poligami dan ketidaksukaan publik.

Pada tahun 1964, Hartini berpindah ke paviliun Istana Bogor. Dari sanalah ia mulai tampil di muka umum, mendampingi Bung Karno dalam berbagai acara kenegaraan dan menerima tamu-tamu penting dari luar negeri. Keanggunannya sebagai perempuan Jawa terpancar, meski di balik senyum lembutnya, ia harus menanggung cibiran dan kecaman.
Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik
Sosok Hartini, Ibu Negara yang tak Pernah Disukai oleh Publik

Perkawinannya dengan Soekarno menjadi pusat kontroversi, terutama di kalangan gerakan perempuan Indonesia. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), yang sejak 1953 gencar mengusung gerakan anti-poligami, menentang keras keputusan Bung Karno. Mereka bahkan mendatangi presiden langsung untuk menyampaikan protes, hingga memicu ketegangan politik antara Soekarno dan gerakan perempuan nasional.

Sekretaris Perdana Menteri kala itu, Maria Ulfah Santoso, menulis bahwa Soekarno merasa tersinggung atas “kelancangan” Perwari dalam mencampuri urusan pribadinya. Akibatnya, hubungan antara Bung Karno dan kelompok perempuan tersebut menjadi renggang.

Meski banyak yang mencibir, Hartini tetap berusaha menjalankan perannya dengan penuh pengabdian. Ia sering tampil mendampingi suami dalam berbagai kegiatan, bahkan kadang berpidato secara spontan dalam acara resmi. Menurut sejarawan John David Legge dalam Sukarno: A Political Biography, Hartini bahkan mulai menjalin hubungan pribadi dengan para tokoh politik dan pemimpin partai yang ingin mendekati Soekarno. “Mereka yang ingin bertemu Bung Karno lebih memilih melalui Hartini,” tulis Legge.

Namun, Soekarno sendiri justru membatasi peran Hartini dalam politik nasional. Baginya, Hartini bukan alat kekuasaan, melainkan sosok istri yang setia dan lembut penenang di tengah badai kehidupan istana. Bung Karno ingin melindungi Hartini dari kerasnya dunia politik yang penuh intrik dan permainan kekuasaan.

Meskipun hingga akhir hayat Bung Karno banyak orang masih memandangnya sinis, tak bisa dipungkiri bahwa Hartini adalah sosok yang mencintai Bung Karno dengan sepenuh hati. Ia mendampingi sang proklamator bukan karena ambisi atau kehormatan, melainkan karena cinta yang tulus. Dalam kesederhanaannya, Hartini tetap menjadi bagian dari sejarah besar negeri ini perempuan yang berdiri di antara cinta, kekuasaan, dan ketidaksukaan publik.

Sumber : goodnewsfromindonesia 

#istriSoekarno #viral #trending #soekarno